Saya terenyuh dan miris membaca berita tentang perjuangan dan
semangat lima siswa SD di daerah pedalaman. Mereka harus menyebrangi sungai
untuk sampai ke sekolah karena dipisahkan sungai. Seperti diungkapkan anak-anak
di dalam sebuah acara televisi,“Sekolah adalah jembatan masa depan yang akan
mengantarkan aku menggapai cita-cita”. Kalimat ini seolah menggiring
kesadaran kita bahwa sekolah adalah ruh peradaban yang mesti dijaga
keberlangsungannya. Kalimat yang sarat akan petatah-petitih tersebut, merangsek
masuk ke aras jiwa dan membuka katup cakrawala pemahaman. Bahwa tanpa sekolah –
peradaban masa depan bangsa yang terletak di pundak generasi muda – tentunya
akan porak-poranda.
Di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, ada juga
puluhan siswa SMP yang mesti berjalan tujuh kilo meter untuk sampai ke sekolah.
Semangat tanpa kenal lelah karena harus menghabiskan jatah waktu sekira 2,5 jam
untuk sampai ke sekolah mirip dengan usaha mendorong batu besar yang dilakukan Sisifus, tokoh dalam mitologi
Yunani. Ia (Sisifus) setiap hari harus mendorong batu besar ke puncak
gunung. Sebelum sampai ke puncak, Sisifus harus kembali melihat batu itu
menggelinding ke kaki gunung meninggalkannya sendirian. Ia pun kembali berjalan
ke kaki gunung hendak membawa batu besar itu. Begitulah seterusnya! Ia harus
sedemikian rela melakukannya karena sedang menjalani proses hukuman yang
dibebankan para dewa.
Namun, anak bangsa di daerah pelosok itu
tidak sedang menjalani proses hukuman dari sang dewa. Ini semua terjadi akibat
tidak tersedianya akses pelayanan publik di pedesaan yang kebanyakan terisolasi
sehingga menjadikan mereka harus serba kekurangan dan berposisi sama seperti Sisifus. Mereka berjalan sejauh
tujuh kilo meter dan berenang mengarungi derasnya air sungai untuk menunaikan
tugas sebagai manusia yang mesti berilmu, berwawasan luas, dan berkepribadian
luhung. Maka ketika jauhnya jarak dan aneka macam bahaya menghadang mereka, tak
membuat mereka berputus asa dan kehilangan semangat berpendidikan. Mereka yakin
bahwa berjalan bolak-balik sejauh belasan kilo meter dan menyebrangi sungai
ialah awal menggapai cita-cita.
Dengan
membangun jembatan atau mengadakan angkutan pedesaan, umpamanya, mereka yang
terisolasi dan marjinal akan secepat kilat menggapai indahnya cita-cita. Maka,
saya pikir merehabilitasi sekolah, menyediakan angkutan pedesaan, dan mengaspal
jalan yang berlobang adalah medium komunikasi dialog kritis-emansipatoris dalam
menghantarkan mereka mewujudkan cita-cita. Menyediakan sarana dan prasarana
sekolah yang representatif, saya pikir sebuah usaha pembebasan yang menjabarkan
kata-kata menjadi sebuah tindakan nyata.
Paulo Freire (Pedagogy of The Opressed,
1972) mengatakan, tidak ada kata sejati yang pada saat bersamaan nihil dari
dunia praksis. Ia menegaskan, bahwa sebuah kata sejati adalah kemampuan
mengubah dunia. Sebab praksis adalah penyatuan antara tindakan dan refleksi
atau kesatupaduan antara kata dengan karya sehingga menghasilkan usaha-usaha
praksis pembebasan.
Di Indonesia masih banyak anak ndeso yang mengharapkan belas kasih yang
tidak hanya tersimpan di racauan mulut. Fenomena seperti ini bagaikan gunung
es, di mana hanya terlihat bagian kecilnya saja. Padahal, jika ditelisik sampai
ke seluruh Indonesia , anak-anak yang bernasib sama dengan mereka sangat
banyak. Andai saja pemerintahan tidak mempasilitasi mereka dengan sarana dan
prasarana sekolah yang representatif dan pelbagai alat penghantarnya, sama saja
membunuh penantian futuristik mereka untuk mengangkat dirinya dari jurang
keterpurukan harkat dan martabat.
Pendidikan
ialah investasi peradaban bangsa di masa mendatang. Indonesia dengan jumlah
penduduk sekitar 230 juta jiwa lebih, yang terdiri dari generasi muda sebagai
cikal bakal pemimpin masa depan berpotensi besar menjadikan negeri adil dan
makmur. Namun, realitas pendidikan di Indonesia saat ini agak mengkhawatirkan,
di mana jumlah siswa miskin di Indonesia hampir mencapai 50 juta. Jumlah
tersebut terdiri dari 27,7 juta siswa di bangku tingkat SD, 10 juta siswa
tingkat SMP, dan 7 juta siswa setingkat SMA. Dari jumlah itu, sedikitnya ada
sekitar 2,7 juta siswa tingkat SD dan 2 juta siswa setingkat SMP yang terancam
putus sekolah.
Hal itu berimplikasi terhadap pembangunan
di negeri Indonesia. Dalam Human
Development Raport (HDR) dari United Nation Development Programme (UNDP) menutup angka Human Development Index ( HDI) Indonesia tahun 2010 di posisi
108 dengan angka 0.600 dari 169 negara yang disurvei. Angka ini menunjukkan
bahwa sumber daya manusia Indonesia masih memperihatin jika tidak mau dikatakan
terbelakang. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah di sebuah
daerah, misalnya, tanpa ketersediaan SDM tentunya pembangunan tidak akan
menciptakan pertumbuhan positif.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan 80
persen jumlah anak putus sekolah, yaitu : kesulitan ekonomi (baik yang tidak
punya dana untuk beli pakaian seragam, buku, transport) atau kesulitan ekonomi
keluarga (anak-anak bekerja sehingga tidak mungkin bersekolah). Selain itu,
faktor eko-geografiskarena
berada di daerah pedalaman yang jarak sekolah dengan rumah jauh. Untuk
menciptakan akses pendidikan untuk semua kalangan (education for all)
diperlukan kebijakan strategis melalui penuntasan wajib belajar dasar 9 tahun.
Pelaksanaan wajib belajar itu ditangani secara lokal kabupaten sehingga lebih
memudahkan pengelolaannya.
Dengan memerhatikan dunia pendidikan
anak-anak, sebetulnya kita tengah berinvestasi bagi masa depan Indonesia yang
lebih baik. Tugas kita bersama, para stakeholders untuk menciptakan pendidikan
berkualitas, dengan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang baik,
serta tenaga pengajar (guru) yang telah memenuhi standar kualitas, baik dari
sisi wawasan, ilmu, dan kesejahteraan hidupnya. Mari kita jadikan pendidikan
sebagai jembatan masa depan anak bangsa, sehingga mereka mampu menghadapi
kompleksitas kehidupan di masa mendatang.
http://sukronabdilah.wordpress.com/2012/11/09/pendidikan-jembatan-masa-depan-anak-bangsa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar